Sensasi Menyelam di Gelembung Panas Bumi Pulau Sangihe
Indonesia merupakan negara yang berada di lintasan cincin api atau ring of fire karena terdapat banyak gunung api. Cincin api juga dikenal sebagai Sabuk Sirkum-Pasifik atau Cincin Api Pasifik. Ini menjadi tempat di mana sebagian besar gempa bumi terjadi. Cincin api tidak benar-benar berbentuk bulat, ini hanya sabuk aktivitas seismik berbentuk tapal kuda yang panjangnya di sekitar tepi Samudra Pasifik.
Cincin ini membentang hampir sepanjang 25.000 mil yang mencakup lebih dari 450 gunung berapi. Sabuk ini membentang dari ujung selatan Amerika Selatan, sepanjang pantai Amerika Utara, melintasi Selat Bering, kemudian turun melalui Jepang ke Selandia Baru. Indonesia berada di titik pertemuan tiga lempeng benua utama, Lempeng Pasifik, Eurasia, dan Indo-Australia-dan Lempeng Filipina yang jauh lebih kecil.
Salah satu titik pertemuan lempeng tersebut ada di wilayah paling utara Sulawesi, Pulau Sangihe, sebuah kabupaten seluas 736,98 kilometer persegi dan terdiri atas 105 pulau. Tidak hanya terdapat gunung api di atas daratan, tetapi di bawah perairan dari kabupaten yang berbatasan dengan Filipina itu juga terdapat gunung api bawah laut.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencatat, hingga 2010, ditemukan lima perairan di tanah air yang memiliki gunung api bawah laut. Kelimanya adalah Gunung Hobal di perairan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, Gunung Emperor Of China dan Gunung Niuwewerker (perairan Banda, Maluku), serta Gunung Mahangetang (perairan utara Sulawesi Utara).
Titik kelima ditemukan pada 2010, masih di perairan utara Sulawesi. Gunung tersebut ditemukan secara tidak sengaja saat digelarnya kegiatan Indonesia-USA Deep Sea Exploration of the Sangihe Talaud Region (INDEX 2010). Kegiatan itu merupakan kolaborasi dari 32 peneliti laut dalam Indonesia dan 12 sejawatnya asal Amerika Serikat di kawasan perairan Sangihe sepanjang Juni hingga Agustus 2010.
Ketika itu, Okeanos Explorer, sebuah kapal penelitian laut dalam milik Badan Kelautan Nasional AS (NOAA) dengan fasilitas kendaraan robot bawah laut (ROV) dan Kapal Riset Baruna Jaya IV ikut dilibatkan. Selain memberikan informasi-informasi terbaru mengenai kehidupan bawah laut perairan Sangihe hingga kedalaman 5.100 meter, para peneliti juga menemukan harta tak ternilai berupa gunung api bawah laut tertinggi di dunia. Letaknya di sekitar Pulau Kawio, sebuah pulau cantik di Kampung Kawio, Kecamatan Marore, Sangihe.
Oleh para peneliti, temuan mereka itu dinamai Gunung Api Kawio Barat. Ketinggiannya dari dasar laut Sangihe hingga puncaknya mencapai 3.200 meter. Artinya, titik puncak gunung ini berada di kedalaman 1.900 meter di bawah permukaan laut. Untuk mencapainya diperlukan sebuah kapal selam khusus.
Dari hasil penelitian yang dilansir di laman situs NOAA dan LIPI terungkap bahwa seperti halnya ekosistem di sekitar gunung api daratan yang subur karena limpahan material vulkanik, penampakan serupa juga terjadi pada lingkungan di gunung api bawah laut Kawio Barat. Uniknya, jika suhu bawah laut pada umumnya sejuk atau dingin, maka di sekitar Kawio Barat ini suhunya sangat panas, bisa mencapai 200 derajat Celcius.
Ini sangat beralasan. Karena kandungan larutan lava mineral dari perut bumi bersuhu sangat tinggi yang keluar dari kepundan berbentuk cerobong langsung mengalami pendinginan mendadak. Ini lantaran larutan mineral berwarna abu-abu keruh itu bertemu air laut bersuhu antara 2-4 derajat Celcius dari dasar laut. Kepundan seperti cerobong itu aslinya adalah tumpukan material mineral yang tertahan akibat proses kimia karena pertemuan dua suhu, air laut dan larutan lava.
Asal tahu saja, larutan mineral (hydrothermal) dari cerobong ajaib itu suhunya di atas 500 derajat Celcius. Uniknya, meski bersuhu panas tetapi sejumlah biota laut merasa nyaman menempel dan mencari makan di sekitar kepundan. Misalnya, beberapa jenis udang, lobster kecil, bintang laut, dan cumi. Di dasar laut dekat gunung juga dijumpai timun laut, cacing sendok, dan laba-laba laut. Terumbu karang di sana pun tumbuh sehat.
Nah, kalau ingin menikmati keindahan kepundan dari titik penyelaman dangkal, kita bisa menuju ke Pulau Mahengetang di Desa Mahengetang, Kecamatan Tatoareng. Dari ibu kota kabupaten di Tahuna, dapat ditempuh dengan perjalanan laut selama 1 jam atau 5 jam dari Manado. Letaknya di barat daya Pulau Mahengetang, kita dapat menjumpai gunung api bawah laut bernama sama dengan pulaunya. Masyarakat setempat menamakannya Banua Wuhu.
Jika diukur dari dasar laut, ketinggian Banua Wuhu ini adalah 400 meter di bawah permukaan laut. Puncaknya berada sekitar 6 meter di bawah permukaan laut.
Menurut catatan NOAA, di sekitar fenomena alam bawah laut ini dulunya sempat terbentuk beberapa pulau sebagai dampak proses letusan Banua Wuhu. Tetapi kemudian menghilang, termasuk sebuah pulau setinggi 90 meter yang terbentuk pada 1835 dan akhirnya hanya berupa susunan beberapa batuan 13 tahun kemudian.
Letusan pada September 1889 membentuk sebuah pulau baru yang mencapai ketinggian 50 meter pada 1894. Letusan pada April dan Agustus 1904 membentuk lima kawah. Pulau baru lainnya terbentuk Juli 1918 hingga Desember 1919, dan menghilang sepenuhnya pada 1935. Letusan kembali terjadi April 1919, batu-batu besar dan abu melanda Pulau Mahengetang sehingga menimbulkan kerusakan di mana banyak rumah warga terbakar.
Saat mulai menyelam, kita akan langsung berjumpa dengan gelembung-gelembung udara keluar dari celah bebatuan. Inilah gas yang menyembur dari perut Banua Wuhu dan suhu di sekitarnya cukup hangat, sekitar 38-39 derajat Celcius. Seperti juga di Kawio Barat, biota laut di sini masih cukup sehat, terutama pada kedalaman hingga 20 meter.
Dan satu hal yang perlu diingat, jangan coba-coba menyentuh bebatuan bergelembung udara. Pasalnya, suhunya sangat panas dan membuat tangan kita bisa melepuh saat memegangnya karena batu-batu itu sesungguhnya adalah kepundan. Oh iya, harap diingat, menyelam di perairan dekat Banua Wuhu ini sebaiknya dilakukan menjelang siang saja. Karena jika penyelaman dilakukan sore atau malam hari sangat berisiko terseret arus deras bawah laut.
Penulis: Anton Setiawan