Pulau Rambut Menjadi Surga Berbagai Burung Air dan Darat
Indonesia adalah salah satu habitat burung terbesar di dunia karena dari sekitar 10 ribu jenis aves di dunia, sebanyak 18 persennya bermukim di seluruh kepulauan Nusantara. Menurut catatan lembaga nirlaba Burung Indonesia, hingga April 2021 terdapat 1.812 jenis burung atau bertambah sebanyak 18 jenis dibandingkan tahun sebelumnya.
Ada sejumlah tempat di tanah air untuk mengamati tingkah polah burung. Salah satunya adalah di Pulau Rambut. Kawasan ini merupakan satu di antara 108 gugus pulau yang terdapat di perairan Kepulauan Seribu, sebuah kabupaten di Teluk Jakarta, dan menjadi bagian dari Provinsi DKI Jakarta. Pulau ini lokasinya berdekatan dengan Untung Jawa, pulau berpenduduk terbanyak di Kabupaten Kepulauan Seribu.
Hanya perlu perjalanan sekitar 10 menit memakai perahu motor kayu dari Untung Jawa menuju Pulau Rambut. Padahal jika menggunakan moda transportasi sama dari Pantai Marina Ancol, Pantai Kamal, atau Muara Angke, ketiganya di Jakarta Utara, butuh waktu 40-90 menit.
Jarak tempuh terdekat menuju Pulau Rambut, selain dari Untung Jawa, juga bisa dilakukan dari dermaga Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten, dengan lama perjalanan antara 25–30 menit.
Pulau Rambut merupakan kawasan konservasi seluas 90 hektare, yaitu 45 ha berupa daratan dan sisanya adalah perairan dengan keindahan terumbu karang alami dan koleksi ikan-ikan hias aneka warna. Seperti dikutip dari laman situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, penetapan status sebagai kawasan konservasi dilakukan pertama kali pada tahun 1937. Ini berawal dari usulan Direktur Kebun Raya Bogor kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta, setahun sebelumnya.
Pulau yang dikenal dengan nama lain Nidelberg oleh Hindia Belanda itu, akhirnya menyandang status cagar alam setelah terbitnya melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 7 tanggal 3 Mei 1937. Selanjutnya keputusan tersebut dicatat ke dalam Lembaran Negara (Staadblat) nomor 245 tahun 1939. Untuk pelaksanaannya diatur dalam Peraturan (Ordonnantie) Perlindungan Alam tahun 1941 yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 167 tahun 1941.
Pada saat penetapannya sebagai cagar alam, luas Pulau Rambut tak lebih dari 20 ha. Kendati merupakan sebuah kawasan cagar alam dan menjadi kediaman yang nyaman bagi aneka burung, dalam perjalanannya kondisi dan vegetasi Pulau Rambut yang merupakan tiga tipe ekosistem hutan yaitu hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan sekunder campuran, mengalami banyak perubahan. Pencemaran lingkungan di sekitar daratan dan perairan pulau akibat tumpahan minyak serta aneka sampah yang terseret oleh gelombang laut mengancam ekosistem di dalamnya.
Sebagian tanaman di hutan mangrove seperti bakau (Rhizophora mucronata), pasir-pasir (Ceriops tagal), dan bola-bola (Xylocarpus granatum) banyak yang mati. Akibatnya, selain menimbulkan abrasi karena tidak ada penahan ombak alami pascakematian pohon-pohon di hutan mangrove, luas daratan pulau juga menciut. Di luar itu, kematian pohon-pohon ekosistem mangrove menjadi ancaman bagi habitat burung-burung yang menjadikan puncak pohon sebagai rumah mereka.
Oleh karena itu, demi menyelamatkan kondisi dan potensi Pulau Rambut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 275/Kpts-II/1999 tertanggal 7 Mei 1999. Melalui surat keputusan tersebut, Pulau Rambut diubah statusnya dari semula sebuah cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa.
Menurut dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatra Utara Onrizal, yang pernah meneliti satwa di Pulau Rambut, kepadatan ekosistem burung di tempat itu salah satu yang terbesar di Indonesia. Doktor kehutanan dari School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia ini mengatakan, Pulau Rambut memiliki kelebihan dengan adanya ekosistem hutan campuran. Sehingga, menjadi habitat nyaman bagi aneka jenis burung. Tidak hanya untuk bersarang, melainkan juga untuk kawin, berkembang biak, membesarkan anak, serta berlindung dari serangan predator. Dan tentu saja, untuk tempat beristirahat.
Seperti halnya Onrizal, peneliti dari Fakultas Kehutanan IPB University Asep Ayat mengatakan bahwa pada masa puncaknya, di pulau ini bisa terdapat 20 ribu hingga 24 ribu ekor burung berkumpul atau jika diukur kepadatannya bisa mencapai 533 ekor per hektare. Terbayang ya bagaimana riuhnya suasana pulau dengan aneka suara berisik dari kehadiran ribuan satwa berparuh tersebut.
Setidaknya ada dua kelompok besar burung yang hidup di sini, terdiri dari 22 jenis burung air (water bird) dan 39 jenis burung darat (terestrial). Mereka berkumpul di Pulau Rambut terutama ketika musim berbiak tiba. Biasanya terjadi antara Januari hingga Juni dengan puncaknya pada April. Nah, jumlah satwa bersayap itu akan semakin meningkat ketika burung pendatang atau migran ikut singgah di Pulau Rambut ketika di habitat asal mereka sedang musim dingin.
Pulau Rambut menjadi favorit burung karena banyaknya pepohonan di daratan dan rapatnya hutan mangrove di tepi perairan. Sehingga membuat banyak ikan berdatangan dan menjadi sumber makanan burung-burung. Cangak abu (Ardea cinerea), pecuk ular (Anhinga melanogaster), kowak malam (Nycticorax nicticorax), kuntul besar (Egretta alba), rokoroko (Plegadis falcinellus), dan pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus) merupakan sebagian burung yang kerap hadir di pulau ini.
Parade terbang dari ribuan burung meninggalkan sarang di pagi hari dan kembali ke tempat mereka di sore harinya menjadi pemandangan unik dan hiburan tersendiri bagi mereka yang melintasi Pulau Rambut, terutama para penduduk yang berdiam di pulau-pulau tetangga.
Burung-burung air penghuni Pulau Rambut terdiri dari jenis penetap dan tidak. Jenis penetap adalah burung yang memang ada sepanjang tahun di sini. Sedangkan yang tidak, biasanya hanya datang saat musim berkembang biak saja dan selanjutnya akan meninggalkan Pulau Rambut usai berkembang biak dan akan selalu kembali pada periode berikutnya, begitu seterusnya. Satwa-satwa itu tidak akan pernah ingkar janji, karena mereka akan selalu hadir di surga burung terbaik yang masih tersisa di Pulau Jawa.
Penulis: Anton Setiawan