Menikmati Keindahan Mangrove di Pesisir Pantai Bolaang Mongondow Selatan
ALAM.ID – Sore itu satu buah mobil dan tiga sepeda motor terparkir di badan jalan. Tak lebih dari sejam para pemilik kendaraan ini singgah di tracking mangrove Panango, Desa Tabilaa, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolsel, Provinsi Sulawesi Utara. Mereka tak menjumpai pengelola. Pengunjung pun secara gratis menikmati wisata hutan bakau tersebut.
Ekowisata mangrove Panango ini memiliki panjang 180 meter dan lebar kurang lebih dua meter. Lokasi ini begitu strategis karena berada di kompleks perkantoran pemerintah daerah. Juga hanya butuh sekitar 10 menit dari pusat Kota Molibagu bila menggunakan mobil atau sepeda motor.
Selain itu, di sekitar lokasi wisata mangrove ini pengunjung disuguhkan pemandangan pasir putih dan sejumlah perahu nelayan. Ada baiknya, di waktu pagi dan sore hari adalah momen yang tepat untuk beranjangsana di tempat tersebut, terlebih mengunjunginya di akhir pekan.
Pemerintah setempat terus berupaya mengembangkan sektor ekowisata mangrove, mulai dari tata kelola hingga penguatan kapasitas sumber daya manusia. Sedikitnya sudah ada empat objek wisata yang dikelola seraya berkolaborasi dengan pemerintah desa, di antaranya: Transpatoa Ocean Park, Tracking Mangrove Dudepo, Mangrove Luwo’o dan Ekowisata Mangrove Panango. Sedangkan Mangrove Deaga masih dalam tahap perencanaan detail engineering desain (DED), kata Sekretaris Dinas Pariwisata Bolsel, Dewi Yuliana Musa.
“Ekowisata mangrove Panango dan Deaga milik pemerintah daerah. Sedangkan Transpatoa Ocean Park, Tracking Mangrove Dudepo dan Mangrove Luwo’o ini adalah milik pemerintah desa. Mereka mengambangkannya lewat program BUMDes,” ujarnya, Selasa (8/2).
Dewi mengapresiasi langkah beberapa desa di Bolsel yang tengah mengembangkan ekowisata mangrove melalui sentuhan program BUMDes. Katanya, memaksimalkan dana desa guna melahirkan suatu kreativitas dengan melihat potensi lokal desa adalah pilihan yang tepat, terlebih hal ini berkaitan dengan pembangunan dunia pariwisata.
“Dinas Pariwisata Boslel berpatisipasi dalam pengembangan sumber daya manusia dan tata kelola destinasinya. Kami juga telah menggelar bimtek CHSE, yang merupakan pedoman pariwisata di tengah pandemi Covid-19,” tandasnya.
Sementara itu, eks pelaksana Program Teluk Tomini (Susclam) 2009-2015, Moh. Yakob Botutihe, mengatakan luasan mangrove Bolsel kurang lebih mencapai 700 hektar, di mana Kecamatan Pinolosian Timur dan Tengah memiliki tingkat kerapatan hutan mangrove dengan rataan lebih mencolok ke permukaan laut atau lebih tebal luasannya di banding bagian arah menuju Gorontalo; dari Kecamatan Bolaang Uki sampai Posigadan.
“Hutan mangrove memiliki manfaat sangat besar bagi lingkungan, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan hutan bakau ini. Mulai dari mencegah erosi pantai hingga bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata,” ujar Yakob, yang saat ini menjabat sebagai community engangment officer di Wildlife Conservation Society (WCS).
Yakob mengomentari upaya pemerintah daerah yang kian mengembangkan ekowitasa mangrove. Menurutnya hal tersebut bukan persoalan, asalkan tidak lantas merubah kawasan dan ruang hutan mangrove. Sebab, jika tidak menjadi perhatian serius maka akan berdampak buruk bagi lingkungan.
“Kalau saya, sah-sah saja wilayah mangrove kemudian dijadikan sebagai kawasan wisata. Namun, mesti dibangun sebuah kesadaran bahwa tujuan dari lahirnya destinasi wisata adalah untuk mengampanyekan pelestarian hutan ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, tuturnya, pengembangan sumber daya manusia harus menjadi perhatian serius dalam rangka pengelolaan wisata hutan mangrove tersebut. Dengan demikian, pengetahuan soal betapa pentingnya mangrove bagi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan bisa diketahui pula oleh para pengunjung.
“Harus diinisiasi misalnya, di setiap objek wisata mangrove ada papan informasi soal apa itu mangrove, mulai dari jenis-jenis mangrove, fungsi, manfaat hingga satwa yang hidup di dalamnya,” kata Yakob, seraya menambahkan sehingga tidak sekadar bertumpu dibalik omset, melainkan juga dijadikan sebagai sarana edukasi mangrove.****
Apriyanto Rajak