Komitmen Masyarakat Menjaga Habitat Maleo di Bolaang Mongondow Selatan
ALAM.ID – Bukan hanya memiliki wisata bawah laut, pasir putih, pulau lampu, hutan mangrove, paralayang hingga kuliner – rupanya Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Sulawesi Utara, dihuni satwa endemik Sulawesi: Maleo. Lokasinya berada di Tanjung Binerean, Desa Mataindo, Kecamatan Pinolosian Tengah, menjadi habitat burung yang memiliki nama latin Macrocephalon maleo ini untuk melangsungkan regenerasi. Kawasan pantai dan berpasir panas merupakan alasannya.
Berdasarkan penelian Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program (IP) Sulawesi dari 2007 hingga 2019 sebanyak 1108 pasangan Maleo dewasa yang berkunjung di Tanjung Binerean – menetaskan 1005 telur – dan berhasil melepasliarkan 380 anak Maleo ke alam. Namun kelangsungan burung Maleo berada di ambang kepunahan, itu dikarenakan adanya pengambilan telur, pemburuan dan pembukaan lahan baru.
Semenjak diintervensi WCS mulai dari tahun 2007 hingga saat ini, segala macam kekhawatiran kepunahan Maleo agaknya mulai terkikis. Terlebih lagi WCS tidak sedang bekerja sendiri, melainkan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolsel: mula-mula menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) nomor 78 tahun 2018 tentang kawasan penataan kawasan pengunsian satwa. Selanjutnya, Surat Keputusan (SK) bupati nomor 289 tahun 2019 tentang pembentukan forum kolaborasi pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor hidupan liar Tanjung Binerean.
Tak sampai di situ, komitmen Pemkab Bolsel terus berlanjut dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2021 tentang penataan kawasan pengungsian satwa koridor Tanjung Binerean. Perda ini disosialisasikan Senin 14 Januari 2022, yang digelar di Deaga Bay Resort, dengan menghadirkan utamanya beberapa wilayah yang berada di kawasan koridor Tanjung Binerean, di antaranya: Desa Mataindo, Mataindo Utara, Torosik dan Adow. Termasuk desa penyangga, seperti Tobayagan, Deaga dan Tobayagan Selatan.
“Perda nomor 2 tahun 2021 tentang penataan kawasan pengungsian satwa koridor Tanjung Binerean, merupakan finalisasi dari arah kebijakan pemerintah daerah yang sebelumnya telah berproses sejak tahun 2017,” ujar Kepala Bagian (Kabag) Hukum Pemkab Bolsel, Kadek Wijayanto.
Katanya, dasar lahirnya Perda tersebut disandarkan pada nomenklatur UU nomor 37 tahun 2014 tentang konservasi tanah dan air. Selanjutnya Perdirjen konservasi sumber daya alam dan ekosistem nomor P8/KSDAE/BPE2/KSA.419/2016 tentang pedoman penentuan koridor hidupan liar sebagai ekosistem esensial.
Kadek menuturkan, esensi Perda itu sejatinya melihat kawasan Tanjung Binerean sejak dulu dan hingga kini menjadi habitat burung Maleo. Lanjutnya, agar bagaimana satwa endemik ini masih terus lestari di Bolsel, maka perlu adanya intervensi pemerintah yang tidak sekadar dilakukan di hilir melainkan pula dari hulu. Sebab Maleo yang berkunjung di Tanjung Binerean berasal dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), sehingga perlu melindungi sejumlah lintasan Maleo.
“Karena Tanjung Binerean tidak berada dalam kawasan hutan lindung, sehingga perlu dibuatkan koridor guna melindungi lintasan Maleo ini. Maka lahirlah koridor KEE hidupan liar Tanjung Binerean. Nah koridor ini yang harus kita jaga. Sebab Maleo hanya akan nyaman jika melintasi kawasan yang masih asri, yang konservasi dan ekosistemnya terjaga,” ungkapnya.
Tidak Hanya Maleo
Yakob Botutihe, selaku Community Engangment Officer WCS IP Sulawesi mengatakan, koridor KEE hidupan liar Tanjung Binerean memiliki luasan keseluruhan mulai dari status Area Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) hingga batasan Hutan Lindung (HT) kurang lebih mencapai 3180 hektar. Katanya, mengapa koridor Tanjung Binerean sangat penting untuk dilindungi karena mempunyai Keanekaragaman Hayati (KEHATI), Areal Bernilai Konservasi Tinggi (ABTK) perlindungan satwa liar dan potensi pengembangkan ekonomi masyarakat.
Dari sisi KEHATI misalnya, lanskap Bogani – Binerean sedikitnya terdapat beberapa jenis Mamalia, di antaranya: Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) status kritis IUCN, Celebes crested Macaque, Spectral Tarsier dan Bear cuscus. Selanjutnya rumah bagi (sedikitnya) 65 jenis burung, 12 jenis di antanya merupakan endemik Sulawesi, mulai dari Maleo, Julang Sulawesi, Kangkareng Sulawesi, Udang-merah Sulawesi, Raja udang pipi ungu. Sementara potensi wilayah pesisir dan laut: terdapat empat jenis penyu: lukang, hijau, sisik dan belimbing; juga ada buaya muara; 310 jenis ikang karang; 10 jenis mangrove dan tujuh jenis lamun.
“Bahkan stok ikan di perairan Mataindo – Torosik – Deaga lebih tinggi dibanding yang ada di Pulau Bunaken.”
“Di kawasan koridor Tanjung Binerean kami terus melakukan agenda antara lain: penyelamatan koridor; konservasi satwa dengan mengelola areal bertelur Maleo dan penyu; riset kamera jebak; dan mendukung upaya-upaya pemanfaatan lahan pertanian berkelanjutan secara lestari terhadap keberadaan Maleo,” tandas Botutihe.
Kini, baik pemangku kepentingan dan WCS telah berupaya melestarikan Maleo di Bolsel, mulai dari penguatan regulasi dan penyadartahuan kepada masyarakat, utamanya mereka yang bersentuhan langsung dengan wilayah koridor: baik petani dan warga pesisir. Tidak hanya itu, bahkan Pemkab Bolsel berhasil mendaftarkan dan memperoleh hak cipta atas desain batik bermotif maleo dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dan telah ditetapkan sebagai seragam resmi.
Sudah 13 tahun Bolsel berdiri semenjak dimekarkan 2008 silam. Kita patut berbangga, bahwa pemerintah senantiasa menunjukkan perhatian serius soal betapa pentingnya membangun daerah tanpa mengesampingkan sumber daya alam dan lingkungan.*
Apriyanto Rajak